Menentukan bagian-bagian teks Narrative


Oleh: Achmad Taufiqurrohman
dari berbagai sumber



Sebelumnya perlu kita pahami dulu pengertian dan generic structure dari teks Narrative. Kalau kalian belum paham, silahkan pelajari dulu artikel disini.

Baiklah kita ambil sebuah contoh teks Narrative untuk kita tentukan bagian-bagiannya.


It was a warm day in March. I was very excited. The day had finally come. I was in the rowing team for the Olympics. I got up very early and exercised as always. Then after breakfast I drove to Drummoyne. My team arrived and at last it was time to start.

Ready, set and the starting gun went off. We began in the third position and were slowly moving closer. There they were. We could see the second boat and then we did it.

We moved past. My arms were aching. My whole body was sore but we all rowed harder.

The first boat was just in front  I saw a dark shadow near the boat. I looked again. What was it? I was sure  it was the shape of a cigar. ‘Oh my  God’,  I thought, ‘I must be seeing things. A shark in Parramata River? Impossible!’

Just then I pulled my oar out of the water. ‘Oh no, why only half?’ I thought. Then I knew. I shouted to my team, ‘Shark! Shark!’ and suddenly we forgot the race.

We rowed faster than ever back to shore. We made it. Phew, we were safe!.

==

Nah, sekarang kita tentukan bagian-bagian teksnya sesuai dengna generic structure pada artikel Teks Narrative.

  1. Paragraf 1–3 merupakan orientation, mengapa? Karena paragrap 1-3 mengenalkan kita (pembaca) pada tokoh cerita, waktu dan tempat kejadian.
  2. Paragraf 4-5 berisi peristiwa inti yang ingin diceritakan. Oleh karena itu kedua paragraf in ikita sebut complication.
  3. Barulah untuk paragraf terakhir kita sebut resolution karena paragraf ini menceritakan penyelesaian dari peristiwa inti pada paragraf sebelumnya




Teks Narrative


Oleh: Achmad Taufiqurrohan
Dari berbagai sumber


Teks Narrative adalah teks yang berisi tentang sebuah cerita atau dongeng dan di dalamnya terdapat konflik/puncak masalah yang diikuti dengan penyelesaian. The function of the text is to amuse, entertain, and to deal with actual or various experience in different ways.


Generic structure dari teks narrative adalah seperti berikut:
Orientation - Complication - Evaluation (optional) – Resolution
Dimana;
  • Orientation : berisi pengenalan tokoh, tempat dan waktu terjadinya cerita (it is about WHO, WHEN, and WHERE the story happened)
  • Complication : berisi puncak masalah/konflik dalam cerita. Sebuah cerita boleh memiliki complication lebih dari satu
  • Evaluation : ini merupakan optional (boleh ada boleh tidak), biasanya dipakai untuk membuat jalan cerita lebih menarik.
  • Resolution : Pemecahan masalah (it is the solution of the problem. It can be a happy or sad ending)




Contoh-contoh teks narrative


The Boy who cried “Wolf” 

There was once a shepherd-boy who kept his flock at a little distance from the village. Once he thought he would play a trick on the villagers and have some fun at their expense. So he ran toward the village crying out, with all his might, “Wolf! Wolf! Come and help! The wolves are at my lambs!” The kind villagers left their work and ran to the field to help him. But when they got there the boy laughed at them for their pains; there was no wolf there. Still another day the boy tried the same trick, and the villagers came running to help and got laughed at again. Then one day a wolf did break into the fold and began killing the lambs. In great fright, the boy ran for help. “Wolf! Wolf!” he screamed. “There is a wolf in the flock! Help!” The villagers heard him, but they thought it was another mean trick; no one paid the least attention, or went near him. And the shepherd-boy lost all his sheep. Moral value: That is the kind of thing that happens to people who lie: even when they tell the truth no one believes them.



Snow Maiden

Once upon a time there lived a couple in a village. They had got married for a long time, but so far they did not have a baby yet. Every single minute they prayed to God, begged for a baby, but it never came true. One day, they went to Snow Mountain. They made a girl from snow and they dressed her beautifully. When it got dark, they decided to go home and left the snow girl alone. The following morning, someone knocked the door. “Any body home?” she said. The old woman inside opened the door and asked, “Who are you?” The girl said “I’m Snow Maiden, your daughter”. The old woman was surprised and happy. “Oh really? Thanks God! Come in, please!” Since that meeting, they lived happily. Snow Maiden was beautiful, kind, diligent and helpful. Her parents and all of her friends loved her very much. One day, Snow Maiden played with her friends. They played fire. At first, Snow Maiden just looked at their play. Suddenly, her friends asked her to jump on the fire. Of course she refused it because one thing that made her afraid was the fire. It’s because Snow Maiden was made of snow, so she should avoid the fire. But her friends kept on forcing her to jump on. Finally, she could not do anything then she did it. She jumped on the fire and she melted. Her friends were so sorry about this, they cried and cried hoping Snow Maiden could live again, but it was useless. Snow Maiden would not be back anymore her mother tried to entertain Snow Maiden’s friends and asked them to make a new Snow Maiden. They went to a snow mountain and started making it. They expected to have the new Snow Maiden. Days passed but their dreams never came true. Poor them!


The Two Goats

Once there were two him thin goats. Both of them were hungry. They were tied together with a brown rope. They wanted to eat the green leaves from two separated bushes. One bush was on the left. The other bush was on the right. The goats thought they could do everything on their own. The first goat wanted to go to the bush on the left, but the second goat wanted to go to the bush on the right. However, the rope was short. They tried but they could not reach they bushes. They were sad. Then, the goats decided to work together. First, they are the leaves of the bush on the right. Then, ate the leaves on the left. The leaves were delicious. They were happy.




Video Pembelajaran

Oleh: Dedy Kharisma,S.Pd
Hasil Pembelajaran siswa kelas 8 Pelajaran TIK
KD-1 dan KD-2 Mengidentifikasi Program pengolah kata dan Mengenal Fungsi Icon Ms.Word





Merenungkan Kembali The Process Approach dalam Pembelajaran Menulis


Oleh: Reni Irawati
Artikel ini dibuat sebagai salah satu tagihan KTI dalam kegiatan MGMP Program BERMUTU tahun 2011/2012



Selama ini guru dihadapkan dengan “kesan kuat” mengenai sulitnya pembelajaran menulis. Memang dari empat keterampilan berbahasa, keterampilan menulis merupakan keterampilan tertinggi (baca: tersulit) dibanding 3 keterampilan bahasa yang lain seperti mendengarkan, berbicara, dan membaca.  Bagi orang awam yang bukan orang bahasa, proses bagaimana manusia mengkuisisi empat keterampilan bahasa dapat dilihat dengan mudah pada seorang bayi. Dari keempat keterampilan bahasa tersebut, bayi lebih dulu mendengarkan, kemudian dia baru mulai meniru suara-suara yang dia dengar sebagai aktivitas berbicara, kemudian dia mulai belajar membaca dan tahapan berikutnya adalah menulis. Jadi sulit dibayangkan seorang yang tidak bisa membaca dapat menulis.


Namun sebenarnya kita tidak perlu lagi berkutat dengan pembahasaan tentang bagaimana sulitnya menulis bagi siswa atau bahkan bagi orang dewasa sekalipun. Jauh-jauh hari Eric Lenneberg seorang psycholinguist pada 1967 mengatakan bahwa ras manusia secara naluriah dan alamiah akan berjalan dan berbicara, tapi tidak dengan berenang dan menulis. Manusia hanya akan belajar berenang jika ia berada dalam air dan ada seseorang yang mengajarkannya. Demikian juga, manusia hanya akan menulis pada saat ia menjadi anggota masyarakat terdidik dan ada seseorang yang mengajarkannya (dalam Brown, 2007).

Pernyataan Lenneberg yang terkenal ini, mengisyaratkan bahwa aktivitas menulis adalah aktivitas budaya (cultural behaviour) yang tidak bisa manusia dapatkan secara innate (pemberian dari Tuhan). Jadi jika kita, guru, masih saja berkutat pada pembahasaan sulitnya pembelajaran menulis, sama saja dengan kita masih memikirkan betapa sulitnya menumbuhkan sayap di badan untuk bisa terbang. Manusia sepertinya memang harus berdamai dengan keadaan itu dan memikirkan bagaimana menciptakan pesawat.

Dalam dunia pendidikan, kesulitan atau hambatan dalam dalam pembelajaran menulis telah diterima sebagai bagian dari karateristik keterampilan menulis itu sendiri (nature of writing), yang mana karakteristik ini telah lama diamati dan diteliti oleh berbagai peneliti dan akademisi dari berbagai sisi, mulai dari sisi psikologi yang menyangkut kognitif dan motivasi, kemudian dari sisi sosial yang menyangkut fungsi tulisan sebagai alat komunikasi hingga dari sisi kebahasaan itu sendiri. Berbagai penelitian tersebut menghasilkan beberapa konsep mengenai pendekatan, strategi, model, metode dan teknik yang dapat diaplikasi oleh guru dalam melaksanakan pembelajaran menulis. Terhadap konsep-konsep tersebut, penulis tidak hendak mengatakan bahwa ia adalah rumus jitu dalam mengatasi berbagai kesulitan dalam pembelajaran menulis. Penulis berkeyakinan bahwa konsep tersebut dapat meringankan beban kesulitan guru dan terutama siswa dalam pembelajaran menulis. Atau paling tidak, guru bisa berdamai dengan keadaan dan mulai memikirkan strategi yang baik. Dan jika ini kemudian dipadukan dengan penetapan indikator pencapaian kompetensi dan perumusan KKM yang tepat, beban kesulitan dalam pembelajaran menulis pun akan semakin berkurang.

Salah satu pandangan yang berkembang dalam beberapa dekade terakhir dan menjadi perhatian artikel ini adalah bahwa kegiatan menulis adalah benar-benar merupakan sebuah keterampilan. Sebagaimana keterampilan di bidang lain, keterampilan menulis mestinya terbangun melalui beberapa tahapan dan proses panjang, tidak langsung jadi. Pandangan baru yang kemudian dikenal dengan the process aproach atau process oriented ini bertolak belakang dengan praktek-praktek pembelajaran menulis konvensional sebelumnya yang berorientasi pada produk (product oriented) dimana guru sekedar memberikan tugas menulis kepada siswanya entah sebagai tugas di kelas maupun sebagai PR dan tinggal menagih pekerjaan siswanya tersebut tanpa tahu-menahu bagaimana proses menulis yang dilakukan siswa (Brown, 2007).


The Process Approach

Pendekatan yang berorientasi pada proses dalam pembelajaran menulis menempatkan siswa sebagai seorang penulis yang independen dalam memproduksi teks. Mereka dipersilahkan menggunakan segala resource yang ada pada diri mereka dan sekitar untuk menghasilkan sebuah komposisi atau tulisan. Namun, berbeda dengan product oriented, guru menjadi ‘pendamping yang sempurna’ untuk memastikan setiap proses dilaksanakan siswa dengan baik. Untuk lebih jelasnya, penulis sajikan urutan kegiatan dalam dalam pembelajaran menulis yang berorientasi pada proses.

Model proses dalam pembelajaran menulis (Hyland, 2003)

Pendekatan proses memandang kegiatan yang dimulai dari selection, prewriting, dan seterusnya hingga follow-up task ini bukanlah sebuah proses yang hirarkis dan berjenjang dimana satu kegiatan dengan kegiatan lainnya berurutan. Planning, drafting, revising dan editing boleh jadi tidak berurutan, bahkan bisa terjadi bersamaan dan berulang-ulang. Dalam proses tersebut, bisa jadi selalu ada review dan klarifikasi terhadap data dan gagasan. Siswa sangat mungkin mundur pada titik tertentu untuk melengkapi data guna mendukung gagasannya dan pada lain kesempatan melompat maju, untuk mengajukan sebuah solusi, misalnya. Prosesnya sangat dinamis dan betul-betul melibatkan kemampuan kognitif siswa dalam perencanaan, memilih data untuk gagasannya, menawarkan solusi dan menetapkan gaya retorik yang hendak dia gunakan.

Penulis perlu menggarisbawahi bahwa pendekatan yang berorientasi pada proses bukanlah tentang urutan kegiatan yang mesti dilakukan siswa dalam pembelajaran menulis, dimana kegiatan itu kemudian dianggap sebuah proses dari awal hingga akhir bagaimana tulisan ditulis. Karena bila itu terjadi, kelas menulis akan terjebak pada produk. Dimana guru sekedar meminta siswa merencanakan tulisannya, menyetor draf  dan guru melakukan penilaian. Pendekatan yang berorientasi pada proses sangat menekankan bahwa setiap tahapan kegiatan menulis akan selalu menjadi medan pertunjukan kemampuan kognitif siswa. Pada kenyataannya, menurut Pollard (2008) proses menulis bisa jadi proses yang panjang bisa juga tidak. Tergantung skill atau keterampilan penulis itu sendiri, dimana keterampilan tersebut dibangun dari proses penulisan yang berkeselarasan dengan the nature of writing.

Ada beberapa macam kegiatan menulis di dalam kelas, diantaranya adalah display writing, self writing, controlled orguided writing dan paragraph writing. Teks descriptive, recount, dan report adalah termasuk tipe paragraph writing. Artikel ini tidak dikhususkan untuk membahas satu persatu macam-macam kegiatan menulis tersebut, jika pembaca ingin mengetahui lebih lanjut, bisa merujuk pada beberapa buku berikut; English Languange Teaching (Patel and Jain, 2008),Second Language Writing (Ken Hyland, 2003), Teaching by Principles, an Interactive Approach to Language Pedagogy (3rd Edition) (Douglas H. Brown, 2007), Learning Teaching (2nd Edition) (Jim Scrivener, 2005), A Guide to Teaching English (Lucy Pollard, 2008) dan Eighth Grade Reading Comprehension and Writing Skill (Learning Express Foundation, 2009)

Dengan melihat model proses yang dikemukakan oleh Hyland, kita dapat menemukan bahwa aktifitas  paragraph writing dalam kelas SMP seperti teks descripitve, recount, dan report, memberikan peluang yang luas diterapkannya pendekatan proses.

Ambil contoh kompetensi penulisan teks recount pada kelas VIII SMP (KD No. 12.2), pada tahap pemilihan topik guru bisa memberikan arahan agar siswa menulis  pengalamannya yang paling lucu, menarik, atau pada momen-momen tertentu seperti saat rekereasi dan sebagainya. Segera setelah siswa memilih topik sesuai minatnya, guru membawa siswa pada proses berikutnya yaitu prewriting. Beberapa teknik yang dapat digunakan dalam prewriting selain yang disebutkan  Hyland diatas seperti listing ideas, dan cluster diagram. Karena keterbatasan tempat, penulis tidak akan membahas satu-persatu teknik-teknik tersebut.

Tahap selanjutnya adalah adalah siswa mulai menulis atau composing yang oleh Brown (2007) disebut drafting karena ini adalah komposisi awal yang masih mentah dan terbuka untuk direvisi. Tahapan composing awal ini adalah tahapan yang bisa jadi krusial, namun dengan teknik tertentu siswa dapat melakukannya dengan baik. Penulis sendiri lebih suka mengarahkan siswa menggunakan teknik freewriting untuk menyusun drafnya. Sesuai istilahnya, freewriting merupakan teknik penulisan bebas, dalam artian penulis atau dalam hal ini siswa menuliskan dengan segera gagasan apapun yang terlintas di benaknya, tanpa memperdulikan struktur, kosakata, ejaan, tanda baca dan sebagainya yang berpotensi menghentikan siswa dari menulis. Dari pengalaman penulis, tulisan siswa akan tampak kaya dan variatif dengan teknik ini.

Dengan berbekal draf mentah ini, proses sesungguhnya seperti yang disyaratkan dalam the process approach bisa dimulai. Respon to draft dapat dilakukan oleh guru dan siswa lain terhadap gagasan, organisasi, dan gaya retorik yang digunakan siswa penulis. Kemudian siswa penulis kembali ke draf nya, meneliti kekurangan dan kelebihan drafnya dan membuat revisi. Draft yang sudah direvisi “dilempar” kembali untuk mendapatkan respon dan konfirmasi. Jika kita melihat pada model proses Hyland (yang ditandai dengan anak panah), tahapan composing, response to draft, revising,response to revision, dan proofreading and editing, dapat terjadi berulang-ulang bahkan simultan atau berlangsung secara bersamaan. Satu hal yang juga tak kalah penting adalah guru perlu memastikan respon dan feedback terhadap tulisan siswa tidak hanya datang dari dirinya, namun juga yang lebih penting dari siswa lain. Kita boleh membayangkan akan ada suasana eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi antara guru dengan siswa dan antar sesama siswa yang muncul dalam kelas menulis melalui pendekatan berorientasi proses ini nantinya.

Diakhir pembelajaran, guru mengevaluasi secara keseluruhan kemajuan dalam setiap proses yang terjadi, guru juga dapat mendorong siswa untuk mem-publish karyanya melalui berbagai media seperti membaca di depan kelas atau mading kelas dan bahkan website sekolah. Untuk keperluan ini, guru dengan dibantu kelas dapat memilih berberapa karya terbaik untuk ditampilkan di mading atau website sekolah yang memang memiliki space terbatas. Adanya media jejaring sosial seperti facebook dan blog juga menjadi media yang bagus sekali untuk menampilkan semua karya siswa di page mereka sendiri dan mendapatkan feedback lebih luas lagi.

Mem-publish tulisan adalah unsur yang tidak kalah pentingnya dalam the process aproach. Hal ini untuk memastikan siswa menulis tidak terlepas dari konteks nyata tulisan sebagai sarana komunikasi dan menyampaikan gagasan. Sebagaimana  menurut Richard (2006), Dengan siswa mengetahui dari awal bahwa tulisan yang hendak dibuat ini tidak hanya dibaca oleh guru namun juga orang lain, ini akan menjadi motivasi tersendiri yang sangat baik yang akan mewarnai setiap tahapan proses composing yang mereka jalankan. Sehinga pada akhirnya, mereka dapat menemukan dan mengatasi kelemahan mereka dalam menulis (to address the weakness).



Referensi:

  1. Brown, H. Douglas. 2007. Teaching by Principles, an Interactive Approach to Language Pedagogy (3rd Edition). New York: Addison Wesley Longman.
  2. Hyland, Ken. 2003. Second Language Writing. New York: Cambridge University Press.
  3. Pollard, Lucy. 2008. A Guide to Teaching English (online e-book). Available at: http://www.esldepot.com/product.php/66/15 (retrieved on April 16 2011).
  4. Richards, Jack C..2006. Communicative Language Teaching Today. Cambridge: Cambridge University Press.



Analisis Ulangan Harian


image: blog.questionmark.com

Oleh: Achmad Taufiqurrohman


Apa sih Analisis Ulangan Harian itu?

Analisis Ulangan Harian merupakan sebuah analisa terhadap hasil suatu ulangan (penilaian) siswa yang menampilkan gambaran utuh mengenai tingkat pencapaian siswa tehadap suatu kompetensi (baca: materi). Dari sebuah analisis ulangan harian baik guru maupun siswa dapat melihat apakah siswa pelu remidi (mengulang) atau tidak (untuk selanjutnya mendapat materi pengayaan), berapa persen tingkat penguasaan siswa dalam sebuah kelas, dan soal mana saja yang sulit atau yang mudah bagi siswa atau dalam bahasa guru indikator mana yang sulit dicapai atau mudah dicapai oleh siswa.


Bagi seorang guru, makna sebuah analisis ulangan harian tidak berhenti disitu saja. Deretan angka analisis tersebut dapat bermakna sejauh mana keberhasilan dia dalam mengajar. Bila hasilnya kurang memuaskan, itu mengindikasikan bahwa dia haruslah memperbaiki desain pembelajarannya, entah itu pendekatan, model, metode, media,  strategi pembelajarannya, atau sekedar memperbaiki butir-butir soal melalui analisa lanjutan yang dikenal dengan Analisis Butir Soal.

Nah disinilah profesionalisme seorang guru mendapatkan tempat untuk ditunjukkan. Profesi guru sama sekali tidak mengenal adanya siswa tidak mampu (baca: bodoh). Profesi ini memandang bahwa siswa adalah sebuah entitas individu yang berkehendak secara bebas. Kenyataan adanya siswa pintar dan tidak pintar oleh profesi ini hanyalah dimaknai  sebagai suatu heterogenitas kecerdasan, yang dapat disikapi dengan cara mendesain pembelajaran yang mengakomodir perbedaan-perbedaan kecerdasan itu dan merancang instrumen penilaian yang lebih baik. Dalam bahasa yang lebih sederhana, guru tidak berburuk sangka pada siswanya bila hasil ulangannya jeblok.

Bagi siswa, analisis ulangan harian mungkin hanya memberitahukan kepada mereka apakah ia remidi atau tidak. Namun bagi seorang guru, analisis tersebut merupakan awal dari banyak hal.



sumber



PPDB 2023: KETENTUAN DAN TATA CARA

Terdapat empat jalur yang tersedia, yaitu Zonasi, Afirmasi, Prestasi, dan Kepindahan Orang Tua. Mana yang mesti anda pilih? simak panduan ce...